Malam merambat pelan di pelataran Taman Lumbini, tepat di kaki megah Candi Borobudur. Hanya denting gamelan, desir angin, dan nyala obor yang membelah senyap. Di tengah hening itu, sejumlah penari melangkah nyaris tanpa jejak. Gerak mereka lamban namun pasti—seolah tubuh mereka adalah doa yang dilantunkan dalam diam. Inilah Tarian Jiwa Jawa, bukan sekadar pertunjukan, melainkan sebuah ruang kontemplasi kolektif.
Disajikan pada malam penutup Festival Tridaya Mandala Borobudur 2025, tarian ini menjadi ruh dari keseluruhan agenda yang mengangkat tema besar “Spiritualitas, Kebudayaan, dan Ekologi.” Namun, Tarian Jiwa Jawa tidak hadir untuk menghibur. Ia menuntun penonton masuk ke dalam sebuah pengalaman estetik yang nyaris spiritual—di mana tubuh menjadi bahasa batin, dan panggung menjadi altar refleksi.
Dialog yang sedikit dan tak ada narasi verbal. Yang ada hanya bahasa tubuh yang mengalir perlahan, menyuarakan kegundahan, harapan, dan pengorbanan. Gerakan para penari yang tenang, nyaris tak bersuara, membentuk semacam meditasi visual. Di beberapa bagian, tembang lirih berbahasa Jawa menambahkan lapisan emosi yang menyentuh, tanpa menjadi dominan.
Dalam dunia pertunjukan modern yang kerap menjual efek dan ledakan visual, Tarian Jiwa Jawa justru menawarkan kekuatan dari keheningan dan kesahajaan. Penonton larut dalam suasana batin yang tak terucap. Mereka tidak hanya menyaksikan, tetapi turut mengalami—sebuah kondisi langka dalam seni pertunjukan.
“Tarian ini bukan untuk ditonton, tapi untuk didengarkan lewat rasa,” ungkap seorang pengunjung yang larut dalam suasana.
Sumber ilham tarian ini berasal dari salah satu relief klasik Borobudur: kisah cinta Manohara dan Sudhana. Namun, tidak disajikan sebagai lakon utama.Tidak ada plot eksplisit, tidak ada tokoh yang diperankan secara literal. Yang ditampilkan adalah sosok perempuan—entah Manohara, entah siapa—yang menari di antara pasrah dan perlawanan.
Geraknya ragu-ragu, kadang patah, namun selalu melangkah. Seolah mewakili pergulatan batin antara keterikatan dan keinginan untuk bebas. Dalam tafsir koreografinya, cinta bukan hanya soal pertemuan dua insan, melainkan perjalanan spiritual menuju pemaknaan diri.
Interpretasi ini menghidupkan kembali relief Borobudur sebagai bukan sekadar artefak, tetapi juga narasi yang terus bisa dibaca ulang dengan perspektif zaman.
Seni yang Tak Mencari Sorotan
Dalam keseluruhan Festival Tridaya Mandala—yang juga menghadirkan sarasehan lintas agama, lokakarya daur ulang sampah plastik,festival kopi lokal dan pameran karya komunitas seni lokal, batik ifentitas lokal juga sarasehan pariwisata berbasis budaya—Tarian Jiwa Jawa menjadi satu dari sedikit program yang memilih diam, namun meninggalkan gema paling dalam.
Di saat banyak pertunjukan mengejar panggung besar dan penonton ramai, tarian ini justru mengundang masuk ke ruang batin masing-masing. Ia bukan performa yang hendak diabadikan lewat gawai, melainkan pengalaman yang hanya bisa dirasakan dalam kehadiran langsung.
Dan pada malam itu, di bawah langit Borobudur yang hening, tubuh-tubuh yang menari seakan menjadi jembatan. Antara masa lalu dan masa kini. Antara tanah dan langit. Antara kita dan diri kita sendiri untuk pencapaikan tataran spiritual yang tertinggi, yaitu suatu hubungan antar manusia, alam semesta dan Sang Maha Segalanya. Dan begitulah isi dari Jiwa Borobudur, yang ditarikan nyaris diam di belakang kelir sepanjang 12 meter, di bawah kaki Candi Borobudur.
Penulis naskah dan skenario: Lisa Nurhayati
Tata Panggung: Lisa Nurhayati
Lighting; Lisa Nurhayati dan Andri
Tata Musik: Yulianto
Tata gerak: Andri & Charis
Property dan Kostum : Lisa Nurhayati
Karya: Mahajava Aksata
(Denny Pohan)