Suasana panggung Jakarta Fashion Week (JFW) 2026 berubah menjadi ruang perayaan wastra Nusantara saat BINhouse, jenama mode legendaris besutan desainer Obin, kembali menampilkan koleksi terbarunya bertajuk “Bahasa Kain”. Dalam peragaan yang digelar pada hari kedua JFW, Selasa (28/10), BINhouse menghadirkan kisah kain tradisional yang disampaikan tanpa kata, hanya melalui gerak, warna, dan irama kain yang menari di atas runway.
Lahir dari kecintaan mendalam Obin terhadap kain antik dan tradisi tekstil Indonesia, BINhouse telah menjadi ikon pelestarian wastra Nusantara sejak membuka butik pertamanya pada 1986. Selama hampir empat dekade, label ini konsisten membawa nilai tradisi ke dalam ruang mode modern, mempertemukan antara warisan dan inovasi dalam satu napas artistik.
Dalam koleksi “Bahasa Kain”, BINhouse menampilkan berbagai kain khas Indonesia yang diolah menjadi busana penuh karakter. Setiap potongan dan lipatan kain tidak sekadar menunjukkan keindahan, tetapi juga menghadirkan narasi tentang tangan-tangan pengrajin, sejarah lokal, dan filosofi di balik tiap motif.
Peragaan BINhouse kali ini kembali menegaskan reputasinya sebagai salah satu show paling dinanti di JFW. Dengan sentuhan teatrikal yang khas, setiap segmen pertunjukan dirancang seperti babak dalam pementasan seni—penuh emosi, keanggunan, dan makna. Koreografi yang lembut namun berenergi tinggi berpadu dengan irama langkah para model, menampilkan harmoni antara kain dan gerak tubuh yang memukau penonton.
“Kami ingin kainnya benar-benar ditampilkan. Lewat koreografi dan jenis kain yang digunakan, kita bisa melihat bagaimana kain itu bergerak, seolah menjadi kulit kedua bagi pemakainya,” ujar Airlangga Elang, putra Obin sekaligus penerus estafet kreatif BINhouse.
Dengan “Bahasa Kain”, BINhouse kembali membuktikan bahwa kain tradisional bukan sekadar warisan masa lalu, melainkan bahasa universal yang mampu berbicara tentang identitas, keindahan, dan keabadian budaya Indonesia di panggung mode dunia.
Pertunjukan dimulai dengan sambutan hangat dari Obin, sang pendiri BINhouse. Dengan senyum lembut, ia menyapa para penonton yang memenuhi ruangan. “Hari ini kami akan menampilkan 61 look busana. Terima kasih sudah datang, kami mencintai kalian semua,” ujarnya tulus. Ucapan sederhana itu menjadi pembuka suasana pagelaran yang terasa begitu dekat, penuh cinta, dan mencerminkan kepribadian lembut sang maestro.
Begitu musik mengalun, para model satu per satu melangkah ke atas panggung dengan ekspresi riang dan penuh interaksi. Mereka saling menyapa, tersenyum, bahkan menari kecil dengan spontanitas yang mengundang tawa penonton. Energi yang mengalir di runway menciptakan keintiman yang jarang ditemukan dalam peragaan busana—seolah ingin menyampaikan pesan bahwa wastra Nusantara bukan hanya busana seremonial, tetapi bagian dari kehidupan sehari-hari yang hangat dan penuh jiwa.
Keanggunan Wastra Khas Nusantara
Koleksi “Bahasa Kain” kali ini menampilkan kebaya modern yang berpijak kuat pada akar tradisi. Teknik manipulasi tekstil melalui pola jahitan menghadirkan tekstur tiga dimensi yang menyerupai untaian ronce melati—simbol kemurnian dan kebahagiaan dalam tradisi Jawa. Sentuhan ini menjadikan setiap busana bukan hanya indah dipandang, tetapi juga sarat makna budaya.
Bahan beludru juga mendapat sorotan, menampilkan kesan mewah dan kaya tekstur. Jika biasanya digunakan untuk kebaya janggan, kali ini BINhouse memadukannya dengan model kutu baru, mengangkat busana tradisional yang sederhana menjadi lebih elegan tanpa kehilangan keasliannya.
Ragam budaya Indonesia hadir dalam harmoni gaya: dari kebaya bergaya qipao yang terinspirasi perempuan Tionghoa, hingga baju kurung Melayu yang menonjolkan keanggunan khas nusantara. Semua berpadu dalam permainan warna berani—dari biru navy yang tegas hingga perpaduan lembut merah muda dan hijau segar—menciptakan narasi visual yang kuat namun tetap anggun.

Sebagaimana tradisi khas BINhouse, peragaan ditutup dengan ritual simbolik yang memikat. Para model melangkah perlahan di atas panggung sambil mengibarkan lembaran kain, diawali dengan kain merah putih sebagai lambang semangat nasional, disusul helaian wastra dari berbagai daerah yang membentuk mozaik warna dan makna.
Di penghujung pertunjukan, Obin bersama sang putra, Airlangga Komara, berjalan ke depan runway. Dengan tatapan penuh syukur, keduanya menyapa penonton, mengucap terima kasih, dan memberi penghormatan yang sarat makna. Gestur sederhana itu menegaskan bahwa etika dan kelembutan hati adalah bagian dari bahasa yang digunakan BINhouse untuk berbicara kepada dunia.
Karena pada akhirnya, “Bahasa Kain” bukan hanya tentang busana, tetapi tentang cara manusia Indonesia menuturkan cinta, kehidupan, dan kebersamaan melalui wastra nusantara—sebuah bahasa yang tak lekang oleh waktu.





